Angka tahun 1824 masehi rupa – rupanya didasarkan pada Candrasengkala
Memet yang terdapat pada sepasang Arca Dwarapala yang berada di empat
penjuru batas kota Tulungagung. Candra Sengkala tersebut berbunyi ¡° Dwi
Rasekso Sinabdo Ratu ¡±yang menunjuk angka tahun jawa 1752.
Dengan berpedoman selisih waktu 72 tahun maka tahun jawa 1752 sama
dengan tahun 1824 Masehi. Itulah sebabnya sampai dengan tahun 2002 yang
lalu kita baru memperingati hari jadi Tulungagung ke-178.
Angka tahun 1824 Masehi juga ditafsirkan sebagai tanda dimulainya
pembangunan pusat kota baru yang terletak di sebelah timur kali Ngrowo
dan sekaligus menandai pusat Kabupaten Ngrowo ke Kabupaten
Toeloengagoeng dengan dikeluarkan Besluit Gubernur Hindia Belanda Nomor :
8 tanggal 14 Januari 1901. Itulah sebabnya kita selalu memperingati
hari jadi Tulungagung pada tanggal 1 April.
Berdasarkan penafsiran dan keyakinan bahwa tanggal 1 April 1824
sebagai tonggak hari jadi Tulungagung, banyak pihak yang merasa ragu dan
keberatan. Tidak terkecuali Panitia Peringatan Hari Jadi Tulungagung
yang Ke-176 pada tahun 2000. Pada waktu itu Panitia Peringatan Hari Jadi
Tulungagung merekomendasikan tentang perlunya peninjauan ulang terhadap
penanggalan Hari jadi Tulungagung.
Selanjutnya pada tanggal 24 Juli 2000 diselenggarakan seminar sehari
¡° Kaji Ulang Hari Jadi Kabupaten Tulungagung ¡± yang dihadiri oleh
unsur Eksekutif, Legislatif, Pemerhati Sejarah, Budayawan, Pemuka
Masyarakat, dan LSM di Tulungagung. Intinya adalah tercapainya
kesepakatan tentang penelusuran hari jadi dan penulisan ulang sejarah
Daerah Tulungagung. Namun sayang sekali pada tahun itu penulisan ¡°
Sejarah Daerah Tulungagung ¡° belum bisa diwujudkan.
Babak selanjutnya, pada tanggal 9 Oktober 2002 ditetapkan peraturan
daerah Kabupaten Tulungagung No : 27Tahun 2002 tentang hari jadi
Tulungagung.
Pada Bab II pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa tanggal 18 Nopember 1205 ditetapkan sebagai hari jadi Tulungagung.
Dengan demikian, sejak tahun 2003 ini hari jadi Tulungagung tidak
lagi diperingati setiap tanggal 1 April, melainkan setiap tanggal 18
Nopember sepaerti saat skarang ini. Penetapan tanggal 18 Nopember 1205
sebagai hari jadi Tulungagung merupakan hasil penelitian seksama
terhadap peninggalan sejarah berupa prasasti yang banyak bertebaran di
kawasan Tulungagung. Sedangkan prasasti yang memuat tanggal 18 Nopember
1205 adalah prasasti Lawadan yang terletak di sekitar Desa Wates
Kecamatam Campurdarat, yang menyatakan ¡°Sukra Suklapaksa Mangga
Siramasa¡±, artinya Jum¡¯at Pahing 18 Nopember 1205. Prasasti Lawadan
dikeluarkan atas perintah Raja Daha terakhir, yaitu Paduka Sri Maharaja
Sri Sarwweswara Triwikrama Watara Nindita Srengga Lancana Digjaya Tungga
Dewanama atau lebih dikenal dengan sebutan Sri Kretajaya atu Raja
Kertajaya yang pada waktu itu merasa berkenan atas kesetiaan warga Thani
Lawadan terhadap raja ketika terjadi serangan musuh dari sebelah timur
Daha.
Pada Prasasti Lawadan dijelaskan juga tentang anugrah Raja Kertajaya
berupa pembebasan dari berbagai pungutan pajak dan penerimaan berbagai
hak istimewa kepada DWAN RI LAWADAN TKEN WISAYA, atau dikenal dalam
cerita sebagai DANDANG GENDHIS. Alasan mendasar dipilihnya prasasti
Lawadan sebagai tonggak sejarah berdirinya Kabupaten Yulungagung dan
menggantikan Besluit Gubernur Jendral Hindia-Belanda Nomor : 8 Tahun
1901 adalah karena prasasti Lawadan memenuhi 9 kriteria dari 13 kriteria
yang di gunakan untuk menetapkan hari jadi suatu daerah.
Kriteria itu antara lain : komonitas warga Lawadan waktu itu telah
memiliki sistem pemerintahan dan sosial budaya yang teratur, mandiri,
mengandung nilai-nilai yang bersifat kepahlawanan dan menimbulkan rasa
cinta tanah air, dan lain-lain.
Dengan demikian, sejak tahun 2003 ini kita memperingati hari jadi Kabupaten Tulungagung setiap tanggal 18 Nopember.
Dalam Bahasa Kawi, Tulungagung berarti ‘sumber air besar’. Tulung
berarti sumber, dan agung berarti besar. Dulunya merupakan daerah kecil
yang terletak di sekitar tempat yang saat ini merupakan pusat kota
(alun-alun).
Tulungagung adalah sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia.
Kabupaten Tulungagung dibatasi oleh Kabupaten Blitar di sebelah timur,
Kabupaten Trenggalek disebelah barat, Kabupaten Kediri di sebelah utara
dan Samudra Hindia di sebelah selatan. Secara administratif, Kabupaten
Tulungagung terbagi dalam 19 kecamatan, 257 desa, dan 14 kelurahan.
Kecamatan tersebut adalah Bandung, Besuki, Boyolangu, Campurdarat,
Gondang, Kalidawir, Karangrejo, Kauman, Kedungwaru, Ngantru, Ngunut,
Pagerwojo, Pakel, Pucanglaban, Rejotangan, Sendang, Sumbergempol,
Tanggung Gunung, Tulungagung.
Secara topografik, Tulungagung terletak pada ketinggian 85 m di atas
permukaan laut (dpl). Bagian barat laut Kabupaten Tulungagung merupakan
daerah pegunungan yang merupakan bagian dari pegunungan Wilis-Liman.
Bagian tengah adalah dataran rendah, sedangkan bagian selatan adalah
pegunungan yang merupakan rangkaian dari Pegunungan Kidul. Di sebelah
barat laut Tulungagung, tepatnya di Kecamatan Sendang, terdapat Gunung
Wilis sebagai titik tertinggi di Kabupaten Tulungagung yang memiliki
ketinggian 2552 m. Di tengah Kota Tulungagung, terdapat Kali Ngrowo yang
merupakan anak Kali Brantas dan seolah membagi Kota Tulungagung menjadi
dua bagian: utara dan selatan.
Dulunya, Tulungagung merupakan daerah yang berawa-rawa, yang terkenal
dengan nama Bonorowo/ngrowo (rowo=rawa). Bekas rawa-rawa tersebut kini
menjadi wilayah kecamatan Campurdarat, Boyolangu, Pakel, Besuki,
Bandung, Gondang. Dalam prasasti Lawadan, terletak di sekitar Desa Wates
Kecamatan Campurdarat, dengan candra sengkala “Sukra Suklapaksa Mangga
Siramasa” yang menunjuk tanggal 18 November 1205 M disebutkan bahwa Raja
Daha yang terakhir yaitu Sri Kretajaya merasa berkenan atas kesetiaan
warga Thani Lawadan terhadap raja ketika terjadi serangan musuh dari
sebelah timur Daha. Tanggal tersebut kemudian digunakan sebagai hari
jadi Tulungagung. Pada Prasasti Lawadan dijelaskan juga tentang anugrah
Raja Kertajaya berupa pembebasan dari berbagai pungutan pajak dan
penerimaan berbagai hak istimewa kepada Dwan Ri Lawadan Tken Wisaya,
atau dikenal dalam cerita sebagai Dandang Gendhis. Di jaman majapahit,
Bonorowo dipimpin oleh seorang Adipati yang bernama adipati kalang.
Adipati kalang tidak mau tunduk pada kekuasaan Majapahit, yang berujung
pada invasi Mojopahit ke Bonorowo. Adipati kalang dan pengikutnya yang
berjuang dengan gagah berani akhirnya tewas dalam pertempuran didaerah
yang sekarang disebut Kalangbret dikecamatan Kauman.
Di Jaman penjajahan jepang, Tulungagung dijadikan base pertahanan
jepang untuk menangkal serangan sekutu dari australia serta sebagai
benteng pertahanan terakhir untuk menghadapi serangan dari arah utara.
Pada masa itu ratusan ribu romusa dikerahkan untuk mengeringkan
rawa-rawa Tulungagung membuangnya ke pantai selatan dengan membuat
terowongan air menembus dasar gunung Tanggul, salah satu gunung dari
rangkaian pegunungan yang melindungi Tulungagung dari dasyatnya ombak
pantai selatan, yang terkenal dengan sebutan terowongan ni yama.
Terowongan tersebut sekarang dijadikan PLTA Tulungagung.
Sentra industri dan makanan
Tulungagung sekarang terkenal sebagai sentra industri kerajinan
marmer dan batu onyx. Sentra industri ini terdapat di selatan
Tulungagung, terutama di Kecamatan Campurdarat, yang di dalamnya banyak
terdapat perajin marmer. Batu-batuan marmer dan onyx tersebut selain
bersumber dari Tulungagung sendiri, juga di datangkan dari daerah lain,
seperti Bawean, sebuah pulau yang masuk wilayah kabupaten Gresik. Bawean
dikenal sebagai pemasok batu onyx yang memiliki kualitas baik dan
relatif lebih tua dari segi usia.
Selain industri marmer, di Tulungagung juga tumbuh dan berkembang
berbagai industri kecil dan menengah yang kebanyakan memproduksi
alat-alat/perkakas rumah tangga. Seperti batik dan konveksinya, bordir
Garmen, busana muslim, sprei, sarung bantal, rukuh dan sebagainya. Di
Kecamatan Ngunut terdapat industri peralatan TNI dengan standart NATO
seperti tas ransel, sabuk, dan lainnya. Begitu juga makanan ringan
seperti kacang atom dan lain-lain.
Selain itu, juga terdapat banyak makanan khas Tulungagung. Makanan
tersebut barangkali tak akan mudah di temukan di daerah lain, seperti:
lodho ayam, nasi pecel, sompil, dan jajanan semisal kacang Shanghai,
geti, jongkong, ireng-ireng, sredeg, cenil, plenggong. Ada juga minuman
khasnya, seperti: kopi cethe, wedang jahe sere, dawet camcao, rujak
uyub, dan beras kencur ( Humas )
0 komentar:
Posting Komentar